Korupsi Versi Jaksa dan Hakim: Negara Rugi, Tak Penting Mens Rea

Inilah logika yang menghukum Tom. Ia tak korup. Ia tak menipu. Ia hanya membuat kebijakan yang tidak menguntungkan negara sebagai korporasi. Maka ia dianggap bersalah.

Oleh: Radhar Tribaskoro – Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Di ruang sidang yang senyap, negara bicara. Lewat mulut jaksa, lewat palu hakim, lewat angka yang disusun dengan yakin: Rp80 miliar.

Sebuah kerugian, katanya. Karena ekspor gula –yang semestinya menguntungkan BUMN– malah dilakukan oleh koperasi. Negara tidak mendapat bagian. Maka itu disebut korupsi.

Maka Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, mantan menteri perdagangan, dijatuhi hukuman penjara.

Tetapi ada yang tak dikatakan. Bahwa koperasi itu bukan hantu. Bahwa Tom tak menerima uang. Bahwa yang rugi adalah asumsi pendapatan, bukan uang yang dicuri. Bahwa keputusan itu diambil bukan untuk memperkaya diri, tetapi –seperti pengakuannya– untuk membuka ruang lebih adil dalam pasar.

Tetap saja, negara merasa dirampok. Benarkah yang dirampok adalah negara? Atau justru rakyat?

KETIKA NEGARA MENJADI KASIR

Kita hidup dalam negara yang kian mirip perusahaan dagang. Negara hari ini menilai kebijakan bukan dari manfaat publik, namun dari potensi pemasukan fiskal.

Hukum pidana digunakan sebagai kalkulator. Jika ada keputusan yang membuat uang tidak masuk ke rekening negara –meskipun legal dan masuk akal– maka seseorang bisa disebut merugikan negara. Dan itu, katanya, adalah korupsi.

Inilah logika yang menghukum Tom. Ia tak korup. Ia tak menipu. Ia hanya membuat kebijakan yang tidak menguntungkan negara sebagai korporasi. Maka ia dianggap bersalah.

BACA JUGA: Angkat Suara Soal Vonis Tom Lembong, Eks Hakim Agung Gayus Lumbuun: Tak Ada Niat Jahat Bukan Berarti Lepas dari Hukum

Padahal, kata Amartya Sen, negara bukan perusahaan: “The ends of development are freedoms. Not income.” (Sen, 1999)

Kalau begitu, apakah negara rugi bila koperasi rakyat untung? Apakah negara kalah bila rakyat sejahtera?

Masalahnya, kita membiarkan istilah “kerugian negara” mendominasi diskusi korupsi. Kerugian negara kini lebih penting daripada kerugian rakyat.

Ketika bansos dimanipulasi demi kampanye, hukum diam karena tak ada kerugian negara dalam audit. Tetapi ketika seorang pejabat memberi ruang untuk ekonomi rakyat, ia bisa dijerat bila uang itu tak masuk ke BUMN.

Padahal, dalam UUD 1945, negara didirikan untuk: “Melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan, dan memajukan kesejahteraan umum.” Bukan sekadar menghasilkan laba!

PERSPEKTIF YANG TERBALIK

Kita telah membalik pusat moral korupsi. Korupsi semestinya adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat, bukan pengurangan potensi pendapatan negara. Namun kini, justru sebaliknya:

– Menyalahgunakan kekuasaan untuk menjadikan anak wakil presiden = bukan korupsi
– Jabatan diberikan atas dasar loyalitas, bukan kompetensi
– Bantuan sosial dijadikan alat politik
– Oposisi dibungkam dengan pasal-pasal elastis
– UU dirancang oleh investor, bukan oleh wakil rakyat
– Menolak BUMN yang boros dan memberi peluang ke koperasi = korupsi?

Kita seolah lupa bahwa negara bukan pemilik, tapi pelayan. Uang negara adalah uang rakyat. Kebijakan negara harus menguntungkan rakyat terlebih dahulu, bukan hanya memperkaya institusi milik negara.

BACA JUGA: Respon Tuduhan Politisasi Kasus Tom Lembong, Ketua Komisi Kejaksaan Sebut Sejak Awal Menteri Lain Dipanggil Juga

Yang lebih mengkhawatirkan: negara kini tampak bersaing dengan rakyatnya sendiri. Dalam kasus Tom, koperasi dianggap lawan. Swasta dianggap penyelundup.

BUMN dianggap sebagai satu-satunya jalan sah untuk berdagang. Padahal sejarah republik ini lahir dari semangat ekonomi rakyat, bukan dari dominasi korporasi negara.

Jika koperasi diberi izin, dan negara tidak dapat bagian, maka dianggap sebagai bentuk perampokan. Logika ini absurd –dan membahayakan.

Apakah negara ingin menjadi tuan atas rakyat, atau justru teman seperjuangan mereka?

KORUPSI: SIAPA YANG DIRUGIKAN?

Korupsi dalam arti sejatinya adalah: “Abuse of entrusted power for private gain.” (Transparency International)

Tidak ada unsur itu dalam kasus Tom. Tidak ada “private gain”. Tidak ada abuse. Tetapi tetap ia dijatuhi hukuman, karena negara tidak menerima keuntungan yang ia harapkan.

Di sisi lain, berapa banyak undang-undang disusun bukan demi rakyat, tapi demi rente? Berapa banyak kebijakan dibuat untuk menyenangkan donatur kampanye? Berapa banyak proyek yang dibagikan secara diam-diam, tanpa lelang?

Semua itu bukan korupsi –katanya– karena tidak ada “kerugian negara” versi auditor. Padahal rakyat buntung. Namun mereka tidak pernah dihitung.

Pengadilan hari ini tampaknya tidak mengadili niat, tapi hasil fiskal. Jika sebuah kebijakan tidak menghasilkan pemasukan untuk negara, maka ia bisa dianggap berbahaya. Tetapi ke mana logika itu membawa kita?

Jika seorang menteri takut mengambil keputusan progresif karena takut dihukum bila negara tidak untung, maka ia akan memilih diam.

Ia akan memilih birokrasi yang selamat –bukan kepemimpinan yang berani. Apakah mesti seperti itu: hukum yang menghitung, bukan mengadili?

Kalau betul begitu, itulah tanda kematian perlahan bagi republik ini.

Sementara itu, rakyat tetap buntung. Mereka tak menikmati gula murah. Mereka tak punya koperasi yang kuat. Mereka tak tahu kenapa menteri yang mereka hormati ditangkap. Mereka hanya tahu satu hal: negara tidak selalu hadir untuk membela mereka.

“Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.” (Martin Luther King, Jr.)

BACA JUGA: Profil Adnan Buyung Nasution: Pendekar Hukum Bersuara Lantang di Istana

PENUTUP: NEGARA BUKAN NERACA

Kita harus ingat: negara bukan kasir. Hukum bukan kalkulator. Republik bukan dibangun di atas neraca, tetapi di atas janji keadilan.

Maka, jika hari ini kita lebih peduli pada kerugian negara daripada luka rakyat, kita sedang berjalan mundur. Kita sedang menciptakan negara yang untung, tapi rakyatnya buntung.

Tom mungkin masuk penjara. Namun sejarah akan mencatat: bahwa ia bukan dihukum karena mencuri, tetapi karena tidak menyenangkan kas negara.

Dan mungkin, dalam catatan sejarah itu, kita akan menyesal: karena pernah percaya bahwa angka bisa menggantikan akal sehat.

Dan kita akan terus mengingat hal ini: “Korupsi bukan soal uang yang hilang, tapi soal harapan yang dicuri. Dan dalam sistem yang salah, rakyat selalu yang paling rugi.” []

Cimahi, 23 Juli 2025

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top