Banyak orang mengira ia bakal jadi seperti politikus lainnya. Ternyata Buyung tetap Buyung. Ia datang bukan buat mengejar kekuasaan, melainkan untuk menyuarakan prinsip.
IMN.co.id – Berbicara soal tokoh hukum di Indonesia, satu nama yang terus melekat di hati publik, tiada lain Adnan Buyung Nasution.
Namun, jangan bayangkan dia sebagai pengacara bergaya elite dengan jas mahal dan mobil mewah. Justru sebaliknya, Buyung adalah simbol sederhana, keras kepala, dan sangat manusiawi.
Lahir di Batavia pada 20 Juli 1934, Buyung memulai kariernya sebagai jaksa. Siapa sangka, dia menjadi “pemberontak” dalam sistem.
Bukan karena anti-hukum, tapi justru karena terlalu cinta hukum, terutama hukum yang adil. Dia kecewa karena hukum kerap jadi alat kekuasaan, bukan alat membela rakyat.
MEMBELA YANG TAK MEMPUNYAI SUARA
Gagasan awal Adnan Buyung Nasution untuk membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mulai tumbuh kuat saat ia melanjutkan studi hukum di Universitas Melbourne, Australia.
Di sana, ia melihat bagaimana lembaga hukum di negara maju memiliki struktur, model, dan sistem kerja yang terorganisir serta berpihak pada akses keadilan bagi masyarakat luas.
Tahun 1970, dengan uang seadanya, dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Misinya cuma satu, yaitu membela orang kecil yang tak sanggup bayar pengacara.
Pengalaman tersebut meninggalkan kesan mendalam pada Buyung. Sekembalinya ke Indonesia, ia membawa semangat perubahan, lalu menyampaikan ide pendirian lembaga serupa kepada Jaksa Agung saat itu, Soeparto.
Namun, respons yang diterimanya belum menggembirakan. Soeparto menilai bahwa kondisi di Indonesia belum siap untuk menerapkan konsep tersebut.
Meski begitu, Buyung tidak menyerah. Ia terus memperjuangkan idenya hingga akhirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berdiri pada 1970.
Saat pengacara lain sibuk menangani kasus bisnis, Buyung justru turun ke kampung-kampung, membela pedagang kaki lima, petani, bahkan buruh pabrik yang digusur tanpa suara.
PERAN POLITIK DAN KONSTITUSIONAL
Di masa awal Reformasi, Buyung ditunjuk jadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wakil golongan profesional.
Banyak orang mengira ia bakal jadi seperti politikus lainnya. Ternyata Buyung tetap Buyung. Ia datang bukan buat mengejar kekuasaan, melainkan untuk menyuarakan prinsip.
Ia vokal menyuarakan pentingnya supremasi hukum, demokrasi, dan pemisahan kekuasaan. Gaya bicaranya tetap lugas, tidak basa-basi, dan kadang membuat orang di ruang sidang terdiam. Itulah Buyung. Ia lebih suka jujur daripada populer.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Buyung kembali diberi kepercayaan: kali ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang hukum (2007-2009).
Banyak yang berpikir, “Wah, Buyung udah jadi orang istana sekarang.” Siapa sangka, justru di dalam istana, suaranya makin tajam.
Ia pernah terang-terangan menolak usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, meskipun jadi bagian dari penasihat presiden.
Bahkan, menurut cerita Buyung sendiri, ia lebih sering memberi masukan lewat SMS atau jalur pribadi karena pertemuan resmi Wantimpres jarang terjadi. Ia tetap menyalurkan kritiknya, entah lewat media, diskusi publik, atau pesan langsung ke SBY.
“Kekuasaan itu bukan untuk dibanggakan, tapi untuk diuji,” kata Buyung dalam salah satu wawancara.
“Kalau kita bisa tetap jujur dan membela rakyat dari dalam kekuasaan, itu jauh lebih berat dari sekadar teriak dari luar.”
BUKAN UNTUK JABATAN, MELAINKAN JALAN PERJUANGAN
Banyak yang kagum karena Buyung tidak pernah mencari jabatan. Dia justru menjadikan jabatan sebagai sarana memperjuangkan keadilan dari dalam sistem. Ia melihat dirinya seperti “mata dan telinga rakyat” di dalam kekuasaan.
Ia juga konsisten mendukung reformasi hukum, pemisahan TNI-Polri, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan penguatan lembaga-lembaga hak asasi manusia. Banyak ide besar yang dulu hanya disuarakan dari luar, akhirnya bisa Buyung dorong dari dalam pemerintahan.
BACA JUGA: Ada Tanda-Tanda Tak Wajar di Balik Kematian Arya Daru
Ia juga dikenal sebagai pengacara paling frontal. Dalam kelas kuliah, dia tak segan membantah dosennya sendiri. Di ruang sidang, dia bicara keras tanpa takut hakim atau aparat.
Baginya, diam di depan ketidakadilan itu dosa. Saat waktu itu satu kali, mobil tuanya yang sudah lecet datang ke acara resmi. Ditanya wartawan soal mobil tuanya itu, dia cuma tertawa dan bilang
“Mobil saya boleh tua, tapi pikiran saya masih tajam.”
Bang Buyung hidup dengan gaya sederhana, pemikiran luar biasa. Ia sering bilang, hukum harus berpihak pada rakyat. Dan itu bukan sekadar kata-kata.
Ia membela buruh, mahasiswa, aktivis, bahkan orang-orang yang dituduh makar di zaman Orde Baru. Banyak yang akhirnya bebas berkat kegigihannya. Padahal itu zaman saat bicara keras saja bisa bikin diri hilang semalam.
Adnan Buyung Nasution meninggal dunia pada 23 September 2015. Tetapi semangatnya tak pernah benar-benar pergi.
Ia meninggalkan warisan besar, yaitu berupa semangat membela yang lemah, melawan ketidakadilan, dan tidak takut bersuara. Kalau hari ini kamu bisa mengkritik pemerintah, bersuara di media sosial, atau membela kebenaran tanpa rasa takut dan ada jejak Buyung di sana.
BIO DATA
Nama Lengkap: Adnan Buyung Nasution
Tempat Lahir: Jakarta
Tanggal Lahir: 20 Juli 1934
Gelar Akademik:
– Sarjana Hukum – Universitas Indonesia
– LLM (Magister Hukum) – Universitas Melbourne, Australia
Istri: Nurnaini Buyung Nasution
Anak: 6. [Yusuf Krisnamadana]